Ikhlas itu….
Seseorang
menghampiriku di rumah dan menyebutkan keperluannya. Aku diam sebentar dan tak
lama masuk ke kamar. Tergeletak dompet merah jambu di atas meja rias. Seratus
lima puluh ribu rupiah dikeluarkan. Uang ini dari gajiku, kupikir tidak usah
meminta izin suami. Mungkin nanti jika dia datang, akan kuberitahu.
Rupiah pun
berpindah tangan.
Tak lama
selepas Mba Erni bertandang. Ibu Joko, samping rumah membawa semangkuk lalapan
di tangannya. “Udah makan, Mba? Ini saya punya daun singkong rebus.” Dia
menyodorkan mangkuk itu kepadaku.
“Alhamdulillah,
rezeki. Kalau sekarang udah makan si, Bu. Tapi buat malem enak juga nih. Mas
aku pasti suka kalau tambah sambel goreng, hehe… Makasih ya. Bentar ya bu.” Aku
bergegas ke dapur menuangkan isinya. Dan mencuci mangkuk itu, kembali ke depan.
“Makasih
ya, Bu. Ini mangkuknya. Beli di mana nih daun singkong? Kayaknya di Mbah Marni
nggak ada, tadi.”
“Bu Tarmi
abis dari bogor, bawa gituan banyak banget. Saya minta aja. Hehe.”
“Masih
nanem kali ya disana?”
“Iya. Makanya
banyak banget. Eh ya, itu istrinya si Tarno kesini mau ngapain? Pinjem duitnya?”
“Iya, emang
kenapa, Bu?”
“Ah enggak.
Kasian aja sama dia. Lakinya nggak punya kerjaan, paling ngasah batu aja.
Duitnya paling berapa.”
“Iya sih
bu. Dia juga tadi cerita, katanya butuh banget buat nambahin uang iuran sekolah
anaknya. Mana anaknya banyak banget.”
Tenggorokanku
tiba-tiba gatal. Entah kenapa. Baru setelah Bu Joko bergi, gatalnya pun hilang.
Aneh.
Aku ke
belakang untuk minum. Setengah gelas kuhabiskan. Gatalnya hilang. Kuraih
semangkuk daun singkok yang ada di atas meja. Dia memarahiku, berkata aku tak
tahu diri. Aku bukan orang yang derma. Aku munafik. Aku tak bisa menjaga mulur.
Aku yang tak ikhlas.
“Apa ini
soal uang dan daun singkong yang kuterima?” Aku bertanya.