Kamis, 20 Agustus 2015

Ikhlas Itu...

Ikhlas itu….


Seseorang menghampiriku di rumah dan menyebutkan keperluannya. Aku diam sebentar dan tak lama masuk ke kamar. Tergeletak dompet merah jambu di atas meja rias. Seratus lima puluh ribu rupiah dikeluarkan. Uang ini dari gajiku, kupikir tidak usah meminta izin suami. Mungkin nanti jika dia datang, akan kuberitahu.

Rupiah pun berpindah tangan.

Tak lama selepas Mba Erni bertandang. Ibu Joko, samping rumah membawa semangkuk lalapan di tangannya. “Udah makan, Mba? Ini saya punya daun singkong rebus.” Dia menyodorkan mangkuk itu kepadaku.

“Alhamdulillah, rezeki. Kalau sekarang udah makan si, Bu. Tapi buat malem enak juga nih. Mas aku pasti suka kalau tambah sambel goreng, hehe… Makasih ya. Bentar ya bu.” Aku bergegas ke dapur menuangkan isinya. Dan mencuci mangkuk itu, kembali ke depan.

“Makasih ya, Bu. Ini mangkuknya. Beli di mana nih daun singkong? Kayaknya di Mbah Marni nggak ada, tadi.”

“Bu Tarmi abis dari bogor, bawa gituan banyak banget. Saya minta aja. Hehe.”

“Masih nanem kali ya disana?”

“Iya. Makanya banyak banget. Eh ya, itu istrinya si Tarno kesini mau ngapain? Pinjem duitnya?”

“Iya, emang kenapa, Bu?”

“Ah enggak. Kasian aja sama dia. Lakinya nggak punya kerjaan, paling ngasah batu aja. Duitnya paling berapa.”

“Iya sih bu. Dia juga tadi cerita, katanya butuh banget buat nambahin uang iuran sekolah anaknya. Mana anaknya banyak banget.”

Tenggorokanku tiba-tiba gatal. Entah kenapa. Baru setelah Bu Joko bergi, gatalnya pun hilang. Aneh.

Aku ke belakang untuk minum. Setengah gelas kuhabiskan. Gatalnya hilang. Kuraih semangkuk daun singkok yang ada di atas meja. Dia memarahiku, berkata aku tak tahu diri. Aku bukan orang yang derma. Aku munafik. Aku tak bisa menjaga mulur. Aku yang tak ikhlas.


“Apa ini soal uang dan daun singkong yang kuterima?” Aku bertanya.

Kamis, 15 Januari 2015

Jangan Salahkan Aku!!



By: Laila iLa



Jangan salahkan aku! Meski aku tau segalanya. Tapi aku tak melakukan satu hal pun, yang bertindak tetap kamu. Jadi, jangan salahkan aku! Bila perlu, kau teriaki lelaki itu. kau maki-maki dia, jewer kupingnya agar ia bisa dengar. Seperti yang kau perbuat akhir-akhir ini pada Bara. Menjewer kuping mungil itu sekuat tenagamu, sampai kupingnya merah padam dan ia meraung sekencang harimau kehilangan anak. Kau bilang pada suamimu yang melihat kejadian itu, Ini agar kuping Bara mendengar perintah mamahnya. Padahal bocah lelaki itu hanya mengabaikan perintah unuk mengganti channel TV yang disukanya ke acara gosip kesukaanmu. Dan harusnya kau pikir lagi siapa yang harus dijewer? Ketika Bara meminta kau antar sekolah, menyuci seragam olah raga yang tiba-tiba harus dipakai, kupingmu mana?

Tapi nyatanya kau selalu berbuat baik pada lelaki itu. Itu, lelaki yang kau sediakan waktu weekend berduaan dengannya. Mengabaikan quality time bersama keluarga yang kau bina.

“Dia bukan pacarku… hanya mantan yang kembali singgah.” Katamu pada hati yang kadang bertanya status lelaki itu.

Kau sendiri tau betul bahwa kau dan dirinya sudah tak ada lagi ikatan yang mengharuskan kalian bersama. Jika pun kau membuatnya, itu artinya hubungan kalian salah. Dan lagi-lagi kau tau itu. Sehingga saat ia menawarkan hal yang kau idamkan semenjak kuliah dulu, kau kebingungan.

“Menikah dengan mantan? Lalu kemanakan anak dan suami?” tanya sisi baikmu.

“Tinggalkan saja, lelaki yang melamarmu adalah lelaki idamanmu. Pikir baik-baik. Ini kesempatan berharga.” Kepalamu sempat tercekat mendengar sisi jahatmu menghasut.

“Tapi semua ini tidak benar.”

“Alah… kamu bisa bina keluarga idaman yang baru dengan suami yang baru.”

Kepalamu tambah pening.

Hingga hari itu tiba. Saat kau tengah ber-happy weekend dengannya dan suami juga anakmu pergi ke tempat yang sama. Pias wajahmu, menganga pula mulutmu. Tak bisa berkelak, kau diseret pulang ke rumah. Suamimmu mengabaikan lelaki yang mencegahmu pergi, sedangkan Bara masih tak mengerti dengan apa yang terjadi.

Disepanjang perjalanan kau tak berucap sepatah kata. Saat itu kau tengah merutukiku. Padahal sudah kukakatakan, tak ada yang dapat aku perbuat. Jika aku dapat bertindak, akan ku tambahkan tempo kebahagiannmu dengan suami dan anak. Tak kubiarkan kau di sapa lelaki itu dalam sebuah reuni. Tapi lagi-lagi kau pemegang kendali. Kau iya kan ajakan jalan. Kau terima setiap rayuan yang menyelubung sukma. Dan tak marah jika tangannya melingkar di pinggangmu.

Aku juga tak dapat melakukan apa-apa ketika kau turun dari mobil. Dimarahi habis-habisan oleh suamimu. Pakaian yang ada dilemari ia keluarkan semua. Yang berserakan di lantai hanya punyamu. Ia berteriak bahwa ia mencintaimu, apakah kamu tidak pernah menyadari? Semua jerih payah yang ia usahakan adalah untuk membuatmu tersenyum. Bukan untuk membuatmu berdandan, lalu dihadiahkan pada lelaki lain.

Tangismu pun meledak. Diabaikannya Bara yang menggenggam tanganmu. Kau mengambil jam yang tergeletak di meja riasmu,lalu sekuat tenaga kau banting. Bara terkejut dan menangis.

“INI SEMUA SALAH WAKTU, BUKAN AKU!!!”

Jika memang aku punya kuasa berkehendak. Sudah ku potong waktu hidupmu saat itu juga dan menjebloskanmu ke neraka. Meski aku tau segalanya, aku tak dapat berbuat apa-apa.  Jadi, JANGAN SALAHKAN AKU!!”

Selasa, 23 Desember 2014

Makam Hawa

Kota tua Balad di Jeddah, Arab Saudi, menyimpan sejarah peradaban manusia di bumi. Di wilayah ini, tepatnya Distrik 1 Al-Ammereyah, diyakini telah dimakamkan wanita pertama di muka bumi, Siti Hawa. Namun apakah benar Siti Hawa dimakamkan di sini? Wallahu a'lam, hanya Allah yang tahu.

Jangan membayangkan kompleks pemakaman megah. Karena memang tidak ada yang terlihat istimewa di pemakaman tua yang berlokasi di Jalan Mawkib Al Iman itu. Tanpa pemandu, niscaya kompleks makam ini akan terlewati karena jalan yang ramai dan tidak adanya petunjuk arah untuk memudahkan orang-orang yang ingin berziarah ke sini.



Kompleks pemakaman ini hanya ditandai tembok marmer setinggi tiga meter yang mengelilingi area seluas kurang lebih 400 meter persegi. Tembok ini mengelilingi tiga sisi makam. Sementara di sisi Jalan Mawkib Al Iman yang sebagian tertutup tembok pagar, terdapat pintu gerbang yang ditunggui dua penjaga. 




Satu-satunya yang menandai Siti Hawa dimakamkan di sini hanya papan di depan pintu masuk yang bertuliskan huruf Arab "Maqbarah Hawwa". Artinya, makam Siti Hawa. 




Lebih lengkapnya dapat dilihat di sini.

Kamis, 11 Desember 2014

Edit Text None Fill Style

Masih coba mendalami corel draw.

Dan mendapat teknik sederhana. Hasilnya.... Jreng... jreng....




Tunggu gambar selanjutnya... :D

Rabu, 10 Desember 2014

Plastic Effect With Corel Draw

Mencoba lebih kreative dengan Corel Draw. Dapat ilham dari mas ini. Dan jreeeeeeg.... Jreeeengg....




First





Second



Tunggu gambar selanjutnya... :D

Senin, 24 November 2014

Untuk Kakakku...

    
Kak, aku sudah berusia sembilan belas tahun sekarang. Besok kalau ada umur masuk ke dua puluh. Usia yang tak pernah kamu jumpai.

Kak, aku tak pernah melakukan ini sebelumnya. Tapi entah kenapa hari ini aku ingin sekali berdialog dengamu. Meski raga kita jauh, aku yakin hati kita akan bertaut selama aku mengingatmu. Mungkin, jika kamu ada akan lebih leluasa aku bercerita. Sebab kita memiliki darah yang sama. Sakitku bisa dirasa olehmu.

Iya, Kak… aku sedang menahan tangis. Untuk apa? Untuk sesuatu yang sangat mengganjal di hati ini. Jika saja kamu ada, Kak. Mungkin aku mempunyai orang yang ditanya tentang pernikahan. Bagaimana mendapatkan restu, dan juga bagaimana caranya yakin pada seseorang yang akan menjadi pasangan kita. Tapi kamu tak ada. Aku harus menjadi yang pertama. Aku tak mengerti, kak… aku bingung.

Kak… coba minta pada Tuhan kita untuk meluluhkan hati mamah. Atau minta pada Tuhan kita untuk meluluhkan egoku. Sebab, sudah lama aku tak mengobrol hangat dengan orang yang sama-sama melahirkan kita itu. Ah, dikejauhan sana pasti kamu sudah melihat apa yang terjadi antara aku dan mama.

Kak… jika kamu ada. Aku tak akan menjadi awal. Kak….

Penjaga Cahaya

Pict by Google


Penjaga Cahaya
By: Laila_ila

“Tak ada yang datang, Mas?”



“Belum ada, Sayang. Sabar ya.”

Kami masih kegelapan. Meski begitu, kami pasrah. Tak dapat berbuat apa-apa.

-0-

“Pak, mau ke makam?”

Seorang perempuan bergegas keluar rumah, kerudung yang ia kenakan masih bengkok beberapa senti dari seharusnya. Beberapa uban menyembul keluar. Ia bermaksud menghampiri lelaki yang telah menjadi suaminya dalam 34 tahun ini. Lelaki yang ia panggil pak itu sedang memompa sepeda ontel tuanya. Bersiap pergi.

“Iya, Bu. Udah siang.”

“Ini makanannya, biar gak harus beli lagi.”

“Kali aja di sana dapet makan gratis, Bu… hehe…”

“Iya kalau ada yang ngasih, kalau enggak? Bapak nanti kelaparan. Udah ah, ambil aja nih. Masih banyak cucian nih.”

“Ya sudah, sini. Bapak berangkat dulu, ya…”

Dan sepeda tua itu melaju. Meninggalkan rumah reyot yang layak disebut gubuk. Sepanjang jalan bapak itu selalu di sapa. Ia orang terkenal di kampung itu. “Pak Diman si penjaga hantu” julukan yang disematkan orang-orang padanya. Itu karena ia seorang penjaga makam. Sudah sepuluh tahun ini ia menggantikan Pak Leman untuk menjaga makam umum di kampung itu. Meskipun hanya seorang penjaga makam, terlihat sekali ia sangat bersykur. Seperti sekarang ini, ia selalu datang dan siap membersihkan tempat banyak manusia kaku bersemayam.

“Pak Diman!”

       Pak Diman mengerem sepeda, padahal tak sampai dua meter lagi ia sampai ke tempat kerjanya. Ia menoleh kepada seorang pemuda di samping mobil kijang warna hitam. Setelah menilik beberapa saat, ia baru mengenalinya.

“Assalamualaikum, baru datang, Pak?” Pemuda berkemaja itu mendekat.

“Walaikumsalam, eh iya, Nak. Abis bikin pager tetangga dulu tadi, jadi siangan. Ada yang bisa bapak bantu?”

“Owh gitu, Pak. Hehe… seperti biasa, Pak!”

Sebuah amplop coklat sudah beralih tangan. Meski pak Diman lebih banyak menampik amplop itu, ia tak berdaya lagi.

“Terima aja, Pak. Saya ikhlas,” kata pemuda itu. membuat pak Diman pasrah untuk kedua kalinya setelah bulan puasa kemarin.

-0-

“Mas, Siapa itu yang di atas?” Aku lihat sekeliling kami lebih terang dari kemarin.

“Sebentar, aku lihat dulu ya, Sayang.”

“Siapa, Mas?” Sungguh tak sabar mengetahui orang yang membuat tempat kami bercahaya.

Suamiku turun dengan muka masam. Melihatnya membuat aku menahan tangis.

“Itu si penjaga, Pak Diman.”

Luruhlah semua air bening yang menggunug di mataku.

-0-
         Pak Diman menyampirkan sepeda ontelnya di samping rumah. Rantang makanan sudah diambil istrinya tadi. Setelah mencuci kaki ke belakang, barulah ia bisa duduk di depan meja makan. Tersedia hidangan yang sama dengan makan siangnya tadi, sayur labu dan tempe. Tapi ada yang beda dalam raut wajah pak Diman. Dan langsung disadari istrinya.

“Ada masalah, Pak?” tanyanya.

“Ibu ingat makam yang paling bagus?”

“Pasutri yang dikuburnya dalam satu lubang itu bukan,  Pak?”

“Iya betul, Bu. Tadi anaknya yang di kota datang lagi, dia ngasih ini.”

“Lagi, Pak?”

“Iya, Bu. Sarah mana?”

“Sarah lagi ngajarin anaknya ngaji. Kenapa?”

“Mau balikin buku Yasin-nya. Untung tadi siang Bapak bawa buku Yasin bekas malam jum’at kemarin.” Pak Diman mengeluarkan buku Yasin dari saku bajunya.

“ Sudahlah, Bapak makan dulu. Biar ibu yang kasih itu ke Sarah. Berdoa saja supaya Sarah nanti gak cuma ngasih duit ke orang lain buat bacain Yasin di kuburan ibu dan bapaknya.”

“Iya, Bu. Amin…”

Makan malam hari itu ramai dengan doa yang tersemat di dada keduanya.