Senin, 24 November 2014

Penjaga Cahaya

Pict by Google


Penjaga Cahaya
By: Laila_ila

“Tak ada yang datang, Mas?”



“Belum ada, Sayang. Sabar ya.”

Kami masih kegelapan. Meski begitu, kami pasrah. Tak dapat berbuat apa-apa.

-0-

“Pak, mau ke makam?”

Seorang perempuan bergegas keluar rumah, kerudung yang ia kenakan masih bengkok beberapa senti dari seharusnya. Beberapa uban menyembul keluar. Ia bermaksud menghampiri lelaki yang telah menjadi suaminya dalam 34 tahun ini. Lelaki yang ia panggil pak itu sedang memompa sepeda ontel tuanya. Bersiap pergi.

“Iya, Bu. Udah siang.”

“Ini makanannya, biar gak harus beli lagi.”

“Kali aja di sana dapet makan gratis, Bu… hehe…”

“Iya kalau ada yang ngasih, kalau enggak? Bapak nanti kelaparan. Udah ah, ambil aja nih. Masih banyak cucian nih.”

“Ya sudah, sini. Bapak berangkat dulu, ya…”

Dan sepeda tua itu melaju. Meninggalkan rumah reyot yang layak disebut gubuk. Sepanjang jalan bapak itu selalu di sapa. Ia orang terkenal di kampung itu. “Pak Diman si penjaga hantu” julukan yang disematkan orang-orang padanya. Itu karena ia seorang penjaga makam. Sudah sepuluh tahun ini ia menggantikan Pak Leman untuk menjaga makam umum di kampung itu. Meskipun hanya seorang penjaga makam, terlihat sekali ia sangat bersykur. Seperti sekarang ini, ia selalu datang dan siap membersihkan tempat banyak manusia kaku bersemayam.

“Pak Diman!”

       Pak Diman mengerem sepeda, padahal tak sampai dua meter lagi ia sampai ke tempat kerjanya. Ia menoleh kepada seorang pemuda di samping mobil kijang warna hitam. Setelah menilik beberapa saat, ia baru mengenalinya.

“Assalamualaikum, baru datang, Pak?” Pemuda berkemaja itu mendekat.

“Walaikumsalam, eh iya, Nak. Abis bikin pager tetangga dulu tadi, jadi siangan. Ada yang bisa bapak bantu?”

“Owh gitu, Pak. Hehe… seperti biasa, Pak!”

Sebuah amplop coklat sudah beralih tangan. Meski pak Diman lebih banyak menampik amplop itu, ia tak berdaya lagi.

“Terima aja, Pak. Saya ikhlas,” kata pemuda itu. membuat pak Diman pasrah untuk kedua kalinya setelah bulan puasa kemarin.

-0-

“Mas, Siapa itu yang di atas?” Aku lihat sekeliling kami lebih terang dari kemarin.

“Sebentar, aku lihat dulu ya, Sayang.”

“Siapa, Mas?” Sungguh tak sabar mengetahui orang yang membuat tempat kami bercahaya.

Suamiku turun dengan muka masam. Melihatnya membuat aku menahan tangis.

“Itu si penjaga, Pak Diman.”

Luruhlah semua air bening yang menggunug di mataku.

-0-
         Pak Diman menyampirkan sepeda ontelnya di samping rumah. Rantang makanan sudah diambil istrinya tadi. Setelah mencuci kaki ke belakang, barulah ia bisa duduk di depan meja makan. Tersedia hidangan yang sama dengan makan siangnya tadi, sayur labu dan tempe. Tapi ada yang beda dalam raut wajah pak Diman. Dan langsung disadari istrinya.

“Ada masalah, Pak?” tanyanya.

“Ibu ingat makam yang paling bagus?”

“Pasutri yang dikuburnya dalam satu lubang itu bukan,  Pak?”

“Iya betul, Bu. Tadi anaknya yang di kota datang lagi, dia ngasih ini.”

“Lagi, Pak?”

“Iya, Bu. Sarah mana?”

“Sarah lagi ngajarin anaknya ngaji. Kenapa?”

“Mau balikin buku Yasin-nya. Untung tadi siang Bapak bawa buku Yasin bekas malam jum’at kemarin.” Pak Diman mengeluarkan buku Yasin dari saku bajunya.

“ Sudahlah, Bapak makan dulu. Biar ibu yang kasih itu ke Sarah. Berdoa saja supaya Sarah nanti gak cuma ngasih duit ke orang lain buat bacain Yasin di kuburan ibu dan bapaknya.”

“Iya, Bu. Amin…”

Makan malam hari itu ramai dengan doa yang tersemat di dada keduanya.




0 komentar:

Posting Komentar