Pict by Google
Penjaga Cahaya
By: Laila_ila
“Tak ada yang datang, Mas?”
“Belum ada, Sayang. Sabar ya.”
Kami masih kegelapan. Meski begitu, kami pasrah. Tak dapat berbuat
apa-apa.
-0-
“Pak, mau ke makam?”
Seorang perempuan bergegas keluar rumah, kerudung yang ia kenakan
masih bengkok beberapa senti dari seharusnya. Beberapa uban menyembul keluar.
Ia bermaksud menghampiri lelaki yang telah menjadi suaminya dalam 34 tahun ini.
Lelaki yang ia panggil pak itu sedang memompa sepeda ontel tuanya. Bersiap
pergi.
“Iya, Bu. Udah siang.”
“Ini makanannya, biar gak harus beli lagi.”
“Kali aja di sana dapet makan gratis, Bu… hehe…”
“Iya kalau ada yang ngasih, kalau enggak? Bapak nanti kelaparan.
Udah ah, ambil aja nih. Masih banyak cucian nih.”
“Ya sudah, sini. Bapak berangkat dulu, ya…”
Dan sepeda tua itu melaju. Meninggalkan rumah reyot yang layak
disebut gubuk. Sepanjang jalan bapak itu selalu di sapa. Ia orang terkenal di
kampung itu. “Pak Diman si penjaga hantu” julukan yang disematkan orang-orang
padanya. Itu karena ia seorang penjaga makam. Sudah sepuluh tahun ini ia
menggantikan Pak Leman untuk menjaga makam umum di kampung itu. Meskipun hanya
seorang penjaga makam, terlihat sekali ia sangat bersykur. Seperti sekarang
ini, ia selalu datang dan siap membersihkan tempat banyak manusia kaku
bersemayam.
“Pak Diman!”
Pak
Diman mengerem sepeda, padahal tak sampai dua meter lagi ia sampai ke tempat
kerjanya. Ia menoleh kepada seorang pemuda di samping mobil kijang warna hitam.
Setelah menilik beberapa saat, ia baru mengenalinya.
“Assalamualaikum,
baru datang, Pak?” Pemuda berkemaja itu mendekat.
“Walaikumsalam,
eh iya, Nak. Abis bikin pager tetangga dulu tadi, jadi siangan. Ada yang bisa
bapak bantu?”
“Owh
gitu, Pak. Hehe… seperti biasa, Pak!”
Sebuah
amplop coklat sudah beralih tangan. Meski pak Diman lebih banyak menampik
amplop itu, ia tak berdaya lagi.
“Terima
aja, Pak. Saya ikhlas,” kata pemuda itu. membuat pak Diman pasrah untuk kedua
kalinya setelah bulan puasa kemarin.
-0-
“Mas,
Siapa itu yang di atas?” Aku lihat sekeliling kami lebih terang dari kemarin.
“Sebentar,
aku lihat dulu ya, Sayang.”
“Siapa,
Mas?” Sungguh tak sabar mengetahui orang yang membuat tempat kami bercahaya.
Suamiku
turun dengan muka masam. Melihatnya membuat aku menahan tangis.
“Itu
si penjaga, Pak Diman.”
Luruhlah
semua air bening yang menggunug di mataku.
-0-
Pak
Diman menyampirkan sepeda ontelnya di samping rumah. Rantang makanan sudah
diambil istrinya tadi. Setelah mencuci kaki ke belakang, barulah ia bisa duduk
di depan meja makan. Tersedia hidangan yang sama dengan makan siangnya tadi,
sayur labu dan tempe. Tapi ada yang beda dalam raut wajah pak Diman. Dan
langsung disadari istrinya.
“Ada
masalah, Pak?” tanyanya.
“Ibu
ingat makam yang paling bagus?”
“Pasutri
yang dikuburnya dalam satu lubang itu bukan,
Pak?”
“Iya
betul, Bu. Tadi anaknya yang di kota datang lagi, dia ngasih ini.”
“Lagi,
Pak?”
“Iya,
Bu. Sarah mana?”
“Sarah
lagi ngajarin anaknya ngaji. Kenapa?”
“Mau
balikin buku Yasin-nya. Untung tadi siang Bapak bawa buku Yasin bekas malam
jum’at kemarin.” Pak Diman mengeluarkan buku Yasin dari saku bajunya.
“
Sudahlah, Bapak makan dulu. Biar ibu yang kasih itu ke Sarah. Berdoa saja
supaya Sarah nanti gak cuma ngasih duit ke orang lain buat bacain Yasin di
kuburan ibu dan bapaknya.”
“Iya,
Bu. Amin…”
Makan
malam hari itu ramai dengan doa yang tersemat di dada keduanya.
0 komentar:
Posting Komentar