Pic by google
Judul : Tapak
Kepala Mamak
By: Laila_ila
Mamak adalah seorang ibu dengan tiga orang
anak. Umurnya sudah termasuk ujur. Setengah abad lebih tepatnya. Badannya
gendut, dengan rambut pendek berhias kemilau putih pada rambut aslinya yang
hitam legam. Jika ia berjalan, kamu akan melihatnya seperti botol yang dasarnya
berbentuk setengah bola. Tak bisa tegak, selalu oleng ke kanan dan kiri. Dan
hari ini aku melihat hal lain pada cara berjalannya. Sungguh lain, dan itu
aneh. Padahal kemarin aku rasa dia biasa saja.
Kemarin ia masih bangun pagi-pagi buta.
Membangunkan aku yang masih terlelap tidur. Aku si bungsung yang harus
berangkat sekolah jam enam pagi. Tapi mamak membangunkanku jam tiga pagi. Ia
membangunkanku lebih cepat untuk membantunya belanja ke pasar. Membantu Mamak
adalah pekerjaan sampinganku. Sedangkan kedua kakakku biasanya sengaja
dibangunkan ketika matahari sudah muncul.
Ngomong-ngomong soal kerja, kakakku yang
pertama adalah seorang perempuan berparas sunda tapi cara bicaranya betawi
banget. Usianya sudah hampir tiga puluh tahun, tapi dia belum juga menikah.
Katanya, pendidikanku lebih penting dari masa depannya. Maksudnya pendidikanku
lebih penting dari pernikahannya. Meskipun Mas Joko ngebet nikah sama kakakku
itu. Aku sendiri maklum, karena kakak punya semangat untuk sekolah tapi dia
hanya lulusan SD. Dulu dia berpikir, untuk apa sekolah tinggi-tinggi? Kalau
pada akhirnya bisa bergaji tinggi di pabrik dengan ijazah SD. Sayang seribu
sayang sekarang ijazah SD tak ‘dilihat’ dalam kulifikasi pegawai pabrik.
Menyesallah dia. Inginnya sekolah lagi, tapi tak mungkin. Sekarang kakak
perempuanku bekerja di sebuah gerai pulsa yang gajinya memang tak seberapa.
Lain lagi dengan kakak laki-lakiku. Emang
dasar laki-laki mungkin ya. Dia tak terlalu bertanggung jawab dengan
keluarganya sendiri. Dengan warung makanan mamak, kak Roni dapat mencapai pendidikan sampai SMA. Dan itu juga
dengan susah payah mamak mempertahankannya. Itu bukan gara-gara susah bayaran,
tapi karena kak Roni siswa yang memiliki hobi absen dari kelas dan tawuran. Dan
sekarang kerjaannya hanya mengganggu para perempuan depan pos ronda yang
menjadi tempatnya nongkrong.
Dengan anak-anak yang tak banyak dapat
diandalkan, mamak diam saja. Katanya, “Kalau Mamak masih bisa, yasudah tak
apa.” Ya, setelah kepergian Bapak yang ogah punya anak bengal (Kak Roni),
mamaklah yang menjadi tulang punggung kami. Idenya lah untuk membuka warung
makanan di kontrakan kami yang serupa gubuk. Triplek yang ditumpuk dan
disatukan dengan potongan kayu dan dibentuk sebuah kubus, juga menjadi tempat
tinggal kami. Dan harus bayar pula. Bukan kepada pemerintah yang adalah pemilik
tanah itu, tapi pada preman-preman ‘keamanan’.
Kalau melihat mamak berkegiatan, rasanya
aku tak bisa bernafas untuk mengutarakannya. Terlalu sibuk dan tanpa rehat.
Setelah ke pasar dan memilih barang yang ada dipinggiran jalan -Karena
bahan-bahan dipinggir jalan lebih murah ketimbang yang di dalam pasar. Tapi
jangan tanya padaku tentang kehegeinisannya-, Mamak kemudian mengolah semua itu
menjadi masakan. Jam lima pagi sudah siap. Sebelum pulang tadi, mamak mampir
dulu ketempat pengupasan bawang. Upah yang ia dapat dari kupas bawang sekitar
dua ribu ruapiah perkilo bawang bersih.
Saat menunggu pelanggan datang pun ia tak
berdiam diri. Dengan tangannya yang terampil mamak mengambil baju di sebuah
garmen yang belum terpasang kancingnya. Jarum dan benang menjadi senjata mamak
untuk mengumpulkan dua ratus rupiah perbaju. Sore hari kadang ia membersihkan
halaman depan sebuah rumah orang kaya, atau jika pembantunya sedang tidak masuk
mamak kadang diminta nyuci dan nyetrika.
Semua itu mamak lakukan untuk sekolahku
yang sebentar lagi berakhir di kelas 12, ya meskipun kakak sedikit membantu.
Dan juga untuk kakak lelakiku yang seorang bujang nganggur. Tak kubayangkan
bagaimana rasanya menjadi mamak. Kerja keras banting tulang. Kiasannya mungkin,
kaki dijadiin kepala dan kepala menjadi kaki. Atau… entahlah aku tak terlalu
pintar dengan kiasan seperti itu.
Nah malam itu, kebetulan aku tidur lebih
cepat. Sekitar jam delapan. Terakhir kulihat mamak biasa saja. Ya cara jalannya
yang oleng itu bagiku sudah biasa. Barulah pagi hari aku menemukan keanehan
itu. Entah bagaimana kepalanya sudah berada di bawah, menggantikan posisi kaki.
Eh tidak, kakinya tetap ada dibawah. Kepalanya berada di antara kaki. Aneh kan?
Dan itu membuat mamah lebih susah berjalan.
Sayangnya, pagi itu aku sedang buru-buru
karena takut terlambat sekolah. Aku belum sempat bertanya padanya atas keanehan
itu. Langsung berlari ke arah angkot dan naik. Dan otakku terlalu sibuk
memikirkan keganjilan itu, sehingga tak dapat memerhatikan sekitar. Sampai di
gerbang sekolah yang kebetulan bersebrangan dengan pom bensin, mataku
terbelalak. Bukan hanya mamak yang memliki kaki di bawah seperti itu. Hampir
semua orang yang mengantre memiliki tubuh seperti mamak. Ngeri, sungguh.
Tak mau berlama-lama, aku langsung turun
dan menyodorkan uang 2000an guna membayar ongkos angkot. Dan lebih seram lagi
ketika supir angkot menarik tanganku dan memelototiku.
“Bensin udah naik 2000 woy… tambah 2000
lagi.”
Ketakutan, aku menyodorkan 2000 lainnya.
“Mamak, hari ini aku tidak makan siang. Dan
mungkin besok juga tidak.”
Keseraman ini membuat air mataku menetes.
Pendidikan membuatku lapar.
2 komentar:
Tersentuh banget bacanya, apa yang telah dilakukan orang tua (mamak) itu adalah salah satu bentuk pengorbanan untuk anak- anaknya, dia banting tulang untuk anaknya demi mendapatkan sejumlah rupiah, demi menyekolahkan anaknya. Apapun cara dia lakukan, kaki bisa jadi kepala dan kepala bisa jadi kaki, semua hanya demi anaknya. Sebagai anak kita harus menghargai ibu kita, pengorbanan mamak sepanjang masa. Dan untuk 2000 rupiah, mungkin untuk kalangan menengah keatas itu tak berarti apa- apa, tapi untuk rakyat kecil 2000 itu berarti banget, karena kenaikan BBM berimbas kepada kebutuhan pokok lainnya, dan transportasi umum.
makasih Eka... :*
Posting Komentar