Senin, 23 Juni 2014

Uang Koin Bapak




Wajah kanak-kanakku sumringah melihat bapak berdiri di ambang pintu. Tas kecil hitam masing melekat di pinggangnya.  Sejurus kemudian aku telah menyambar tanggan beliau. Mengecup punggung tangan yang hitam itu. Kemudian menunggu beliau berleha.

Tak lama, bapak pun duduk bersender ke dinding. Dibukanya tas hitam kecil itu, lalu disodorkan ke arahku. Di atas lantai dingin kontrakan kami, kuhamburkan semua isi tas. Bapak tau aku paling suka menghitung uang yang ia dapat. Tidak menunggu lama, aku langsung memisahkan uang kertas dan koin. Tak kupedulikan uang kertas yang lusuh. Aku lebih suka menghitung uang koin. Alasannya sederhana, agar aku bisa menyusunnya tinggi-tinggi seperti menara.

Entah mengapa hal itu selalu membuatku bahagia. Mendengar gemericik koin ketika di kocok di antara lengkungan tangan, atau menghitungnya berkali-kali karena aku selalu keliru dengan hitungan. Aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam jika sudah bermain dengan koin-koin.

Jika sudah bosan, aku akan mengembalikan koin tersebut ke tempat semula. Tanpa peduli jumlah dari koin-koinnya. Kemudian aku berlari ke arah motor bapak yang terparkir di teras. Di belakang motor tua itu terdapat sebuah box menyerupai lemari. Kubuka kait kecilnya dan nampaklah semua barang jualan bapak. Roti berbagai rasa dan ukuran. Hidungku langsung mengernyit saat bau menusuk hidung. Penyebab bau itu tidak lain adalah dari roti-roti basi yang menumpuk di bagian bawah box. Nampaknya hari itu roti basi yang bapak ambil sangat banyak. Jadi baunya begitu menyengat.

Ku abaikan bau itu dengan melongok lebih atas. Di sana tempat bapak menyimpan roti yang masih bagus. Ku ambil satu, rasa kelapa yang aku sangat suka. Ditutup kembali kait yang ada di box. Dengan roti isi kelapa aku berlari ke depan TV. Memakannya sambil menonton serial kesukaanku.

Waktu itu aku tak pernah bertanya apakah uang yang bapak kumpulkan banyak atau tidak. Tak juga peduli apakah uang yang ada, cukup untuk membeli “Bobo” atau tidak. Dan sama sekali tidak tahu bahwa uang menjadi jembatan pemisah antara aku dan kebahagian bersama bapak.

0 komentar:

Posting Komentar