Jumat, 23 Mei 2014

Lelaki Masa Lalu




Dipandanginya kedua mempelai itu. Sang wanita dengan kebaya brokat nan elegan. Sememtara si pria dengan beskap putih, selaras dengan bawahan dan kain batik. Mereka berdua terlihat bahagia, sang penghulu pun tersyum ketika ijab telah disempurnakan. Kata ‘sah’ disambut amin oleh semua pendatang, termasuk kedua mempelai. Bahagia, seharusnya hanya senyum dan tawa saja. Namun berkali-kali Nani mengusap lelehan air mata yang membasahi pipi.

“Umi, kenapa nangis?” Pria itu mendekap Nani segera. “Cengeng deh, liat TV aja nangis bombay gitu.”

Yang ditanya masih tergugu. Sulit berkata dikala nafas masih sesak. Dekapan yang ia rasakan hangat, perlahan Nina pun mengontrol nafasnya.

“Aku ngerasain yang Emak rasain dulu, Abi. Hiks.” Kalimatnya kembali terputus oleh isak.

Pria yang dipanggil abi kemudian melihat layar televisi. Dia paham, artis pria itu menikah dengan selingkuhannya. Perempuan seksi yang juga artis. Si pria hanya menyumbang anak untuk mantan istrinya yang menjanda.

“Sakit, Bi. Laki-laki itu emang bejad. Bilangnya gak selingkuh, tapi apa? Buktinya jelas, dia menikah dengan perempuan itu,” pekik Nina penuh emosi.

Terkenang oleh Nina bagaimana Emak harus berjuang membiayai kedua anaknya sendirian. Lalu Tuhan menyambutnya dengan pria yang datang melamar. Tak lama pernikahan pun dilaksanakan. Tak lagi sendirian membuat Emak bahagia, apalagi dengan tambahan Arjuna dikehidupan keduanya. Tak ada lagi yang tak sempurna di dunia ini keculi keluarga bahagia, bukan? Namun nestapa tak lepas dari takdir cinta Emak. Pria yang menikahinya ternyata berselingkuh dengan wanita lain, ia jelas-jelas tahu kedekatan keduanya. Sakit, kepercayaan  dan harapan yang Emak pupuk hancur berantakan. Yang lebih menyakitakan Emak adalah bagaimana lelaki itu menggelandangkan anak dan istrinya, tak sepeserpun nafkah diberikan.

“Istigfar, Mi. Sudahlah, itu kan sudah masa lalu.” Abi mencoba menenangkan. Namun tak sedikitpun Nina menghentikan tangisnya.

“ Jangan salahkan aku jika aku membenci lelaki itu.”

“Umi gak boleh gitu ah, kan udah janji mau maafin.”

“Kamu gak ngerti sih, Bie. Gimana susahnya Emak ngehidupin kita bertiga yang masih kecil.” Dada Nina kembang kempis menahan amarahnya. Derai pun masih terus mengalir.

“Istigfar,Mi….” Abi mempererat cengkramannya pada tubuh mungil itu. Ia tahu bagaimana istrinya begitu benci pada lelaki, itulah mengapa Abi butuh waktu yang sangat panjang untuk meyakini Nina agar mau menikah dengannya.

“Astagfirullah….” Meskipun dada Nina masih berdegup kencan, tapi ia sadar bahwa meluapkan emosi itu salah. Setan akan berteriak girang jika emosi itu terus membuncah.

“Udah ya, Mi. Sekarang kan Umi udah punya Abi.”

Nina mendelikan bola matanya pada sang suami. Ia genggam lebih erat tangan Abi yang ada di atas pahanya. Tatapan tajam matanya berarti banyak untuk Abi.

“Iya, Insya Allah. Abi gak akan khianatin Umi.” Abi melepas pelukannya. Beralih mengusap bulir-demi bulir yang turun di pipi istrinya.

Berikutnya, Nina hanya dapat membisu. Menguatkan diri untuk terus menekan segala bentuk kebencian dan dendam pada lelaki itu. Batinnya terus meneriakkan bahwa tak semua lelaki sama, buktinya Abi begitu sabar menunggu dirinya siap untuk menikah.

0 komentar:

Posting Komentar