Dipandanginya kedua mempelai itu. Sang wanita dengan kebaya
brokat nan elegan. Sememtara si pria dengan beskap putih, selaras dengan
bawahan dan kain batik. Mereka berdua terlihat bahagia, sang penghulu pun
tersyum ketika ijab telah disempurnakan. Kata ‘sah’ disambut amin oleh semua
pendatang, termasuk kedua mempelai. Bahagia, seharusnya hanya senyum dan tawa
saja. Namun berkali-kali Nani mengusap lelehan air mata yang membasahi pipi.
“Umi, kenapa nangis?” Pria itu mendekap Nani segera. “Cengeng
deh, liat TV aja nangis bombay gitu.”
Yang ditanya masih tergugu. Sulit berkata dikala nafas masih
sesak. Dekapan yang ia rasakan hangat, perlahan Nina pun mengontrol nafasnya.
“Aku ngerasain yang Emak rasain dulu, Abi. Hiks.” Kalimatnya
kembali terputus oleh isak.
Pria yang dipanggil abi kemudian melihat layar televisi. Dia
paham, artis pria itu menikah dengan selingkuhannya. Perempuan seksi yang juga
artis. Si pria hanya menyumbang anak untuk mantan istrinya yang menjanda.
“Sakit, Bi. Laki-laki itu emang bejad. Bilangnya gak
selingkuh, tapi apa? Buktinya jelas, dia menikah dengan perempuan itu,” pekik
Nina penuh emosi.
Terkenang oleh Nina bagaimana Emak harus berjuang membiayai
kedua anaknya sendirian. Lalu Tuhan menyambutnya dengan pria yang datang
melamar. Tak lama pernikahan pun dilaksanakan. Tak lagi sendirian membuat Emak
bahagia, apalagi dengan tambahan Arjuna dikehidupan keduanya. Tak ada lagi yang
tak sempurna di dunia ini keculi keluarga bahagia, bukan? Namun nestapa tak
lepas dari takdir cinta Emak. Pria yang menikahinya ternyata berselingkuh
dengan wanita lain, ia jelas-jelas tahu kedekatan keduanya. Sakit, kepercayaan dan harapan yang Emak pupuk hancur berantakan.
Yang lebih menyakitakan Emak adalah bagaimana lelaki itu menggelandangkan anak
dan istrinya, tak sepeserpun nafkah diberikan.
“Istigfar, Mi. Sudahlah, itu kan sudah masa lalu.” Abi
mencoba menenangkan. Namun tak sedikitpun Nina menghentikan tangisnya.
“ Jangan salahkan aku jika aku membenci lelaki itu.”
“Umi gak boleh gitu ah, kan udah janji mau maafin.”
“Kamu gak ngerti sih, Bie. Gimana susahnya Emak ngehidupin
kita bertiga yang masih kecil.” Dada Nina kembang kempis menahan amarahnya. Derai
pun masih terus mengalir.
“Istigfar,Mi….” Abi mempererat cengkramannya pada tubuh
mungil itu. Ia tahu bagaimana istrinya begitu benci pada lelaki, itulah mengapa
Abi butuh waktu yang sangat panjang untuk meyakini Nina agar mau menikah
dengannya.
“Astagfirullah….” Meskipun dada Nina masih berdegup kencan,
tapi ia sadar bahwa meluapkan emosi itu salah. Setan akan berteriak girang jika
emosi itu terus membuncah.
“Udah ya, Mi. Sekarang kan Umi udah punya Abi.”
Nina mendelikan bola matanya pada sang suami. Ia genggam
lebih erat tangan Abi yang ada di atas pahanya. Tatapan tajam matanya berarti
banyak untuk Abi.
“Iya, Insya Allah. Abi gak akan khianatin Umi.” Abi melepas
pelukannya. Beralih mengusap bulir-demi bulir yang turun di pipi istrinya.
Berikutnya, Nina hanya dapat membisu. Menguatkan diri untuk
terus menekan segala bentuk kebencian dan dendam pada lelaki itu. Batinnya terus
meneriakkan bahwa tak semua lelaki sama, buktinya Abi begitu sabar menunggu
dirinya siap untuk menikah.
0 komentar:
Posting Komentar