Judul : Anak Bekicot
By: Laila ila
Aku tak habis pikir bagaimana Roro bisa hidup seperti ini.
Bertelanjang kaki di tengah terik yang menyengat, juga tak memakai sehelai pun
baju. Badannya yang tinggal tulang itu
memperburuk pandanganku, membuat aku ingin muntah saja. Ya meskipun bukan
sepenuhnya salah Roro, namun memang suasana hatiku sedang buruk. Ini gara-gara
papah yang mengasingkan aku ke tempat ini. Tempat tinggal si Roro anak kampung
bau matahari.
Sepatu Nike yang baru saja mama
belikan satu bulan yang lalu harus dikalungkan ke leherku, dengan tali yang
diikatkan. Medan perjalanan yang sekarang kita tempuh begitu banyak lumpur, dan
aku tak mungkin membiarkan sepatu seharga dua ratus ribu rupiah itu jadi rusak.
Roro yang berjalan di depanku santai-santai saja. Sedang aku bersusah payah
melangkah, mencari pijakan yang pas supaya tidak terjerembab ke dalam lumpur.
Ini bukan lumpur isap seperti di
serial Bones, ini adalah tanah berlumpur yang biasa para petani menanam padi.
Aku menginjak bagian tengah lahan, diantara padi yang mulai meninggi.
“Ini
waktu yang tepat untuk mencari bekicot,” jelas papah yang tersenyum jahil padaku. Dan mengangguk pelan ke arah Roro
yang matanya berbinar tadi pagi.
“Tuuutut,”
tambah Roro kemudian. Kata kelima yang aku dengar dari mulutnya, setelah kita
seharian berasama.
Dan aku menjadi tumbal kejahilan papah sekarang, sedang papah
berdalih dengan pekerjaannya. Aku harus mencari-cari mahluk kecil berlendir ,
hitam dan selalu membawa batok kemana-mana itu. Aduh, jangan tanya aku
bagaimana rasanya. Baru memikirkannya aja aku sudah merasa jijik. Apalagi aku harus
terpanggang di bawah sinar matahari yang terik.
Sungguh,
aku berjanji untuk tidak menceritakan kejadian ini pada seisi kelas nanti saat
libur sekolah berakhir. Seorang Nikolas anak berdarah biru dan tampan sepertiku
harus berkotor-kotor di sawah seperti seekor katak mencari lalat? Tidak.
Apalagi jika mereka tahu aku ditemani seorang anak lelaki yang gak ngota
banget.
Roro menghentikan langkahnya.
Aku pun melakukan hal yang sama, lebih tepatnya belum berhasil mengangkat kaki
yang seakan terisap untuk melangkah. Lalu dia menyodorkan ember merah kecil ke
depanku, dan menunjuk kebawah. Tepat ke kakiku. Di sana, hewan yang sejenis
siput itu berada.
Aku
membungkukkan badan guna mengambil bekicot yang Roro sebut tutut. Tapi…
“Kamu
yang ambil!” Aku memandang Roro dengan tatapan yang sangar. Tatapan yang sama
saat mama hendak menyuruhku.
Anak
berkulit hitam kelam itu menggeleng. Dengan mata yang dipelototkan dan alis
saling bertaut.
“Roro,
aku gak mungkin ngambil mahluk jijik kayak gitu tau. Aku udah susah payah jalan
ngikutin kamu, sekarang suruh aku juga yang ngambil? Gak sudi.” Tangan
kusilangkan di dada sambil memalingkan wajah ke arah yang lain.
“A..
a… a…” Tubuhku oleng. Beberapa saat aku berpegangan pada udara. Sesuatu di
tarik dari leherku. Untung saja aku tak jatuh.
Sedang
Roro nyengir kuda dengan tali sepatu yang ia pegang tinggi-tinggi. Ia
memandangku, kemudian memandang mahluk menjijikan itu lagi. Satu alisnya
meninggi. Lalu melihat sepatu yang sengaja ia lepaskan pegangannya.
“Jangan!!”
HAP!!
Tertangkap.
Si anak kampung itu sedang mempermainkanku. Sepatuku yang ia jatuhkan dan tangkap kembali, menjadi
alatnya untuk memaksaku mengambil bekicot. Sial. Aku benar-benar pada posisi
skak mat. Alhasil tiga ekor bekicot beralih tempat ke dalam ember merah kecil.
Kulihat Roro memamerkan gigi-giginya yang putih kekuningan, dengan sepatuku
menggantung di lehernya.
Cukup
lama mengumpulkan para bekicot itu ke dalam ember. Karena Roro tak sedikitpun
membantu. Dia masih berlagak seperti bos. Sedang aku tak dapat menolak
perintahnya sampai sepatu itu kembali ke tanganku. Tak peduli pemandangan hijau
yang menghampar dan panorama gunung di hadapanku yang teramat indah, pokoknya aku sangat kesal.
Setelah
dirasa cukup, kita pun akhirnya kembali ke rumah. Juga bukan tanpa perjuangan.
Di tengah jalan kita bertemu seorang ibu yang sedang kesulitan dengan ranting
kering bawaannya. Katanya ia baru menginjak cangkang kerang yang orang lain
buang sembarangan. Jadi ia tak bisa berjalan dengan baik. Turun tanganlah Roro
si anak kampung, ia dengan cekatan mengikat
ranting-ranting itu dengan kain milik si ibu dan langsung memanggulnya.
Ranting itu sebagai bahan bakar untuk memasak, ibu itu menjelaskan. Aku bahkan
tak percaya dengan penjelasan ibu tadi. Abad 21 masih saja memakai ranting
untuk memasak? Aku rasa dia hanya mengarang cerita saja.
Meskipun
begitu, Roro semangat sekali berjalan dengan beban ranting di pundaknya. Aku
mengekor di belakang dengan tangan kanan
memegang gagang ember dan tangan kiri menggantung sepatu mahalku. Aku masih tak
tega jika harus memakai sepatu mahal itu di tanah merah seperti ini.
Roro
memutuskan untuk mengubah arah jalan
pulang kita. Setelah mengantar ibu,baru kita pulang. Karena aku tak tahu jalan
pulang, ku ikuti saja dia. Ketika sampai di rumahnya –lebih tepat, gubuk- , ibu
itu langsung menyuruh kita masuk. Tapi aku tak tak mau. Dan perempuan paruh
baya itu membungkuskan beberapa potong tape untukku dan Roro, lalu mengucap
terima kasih dengan ulasan senyum di bibirnya. Itu hadiah karena Roro sudah
membantunya. Aku juga ikut tersenyum, juga merasa senang. Padahalkan yang
membantu memanggul ranting-ranting itu hanya Roro. Aneh.
-o-
“Papah,
kenapa sih kita harus liburan ke sini?”
“Setelah
dewasa juga kamu akan mengerti!”
“Dasar
orang tua!”
Papah
sudah kembali ke dalam rumah, ia tak berkesempatan mendengar keluhan dan
umpatanku. Aku pun tak tahu jika ia sudah tak ada di tempat, pasalnya mataku
terlalu sibuk melihat adakah bagian sepatuku yang rusak.
-0-
Ketika
aku dewasa, anak bekicot itu juga tumbuh menjadi lelaki dewasa. Badannya sudah
berbeda sekarang. Dia lebih kekar, bahkan lebih sixpack dari aku yang biasa
nge-gym. Tak heran juga, karena dia sekarang bekerja sebagai kuli panggul
pasar. Pekerjaan mencari bekicotnya masih ia lakukan ketika musim bekicot tiba.
“Euleuuh
ada si Bapak Sarjana.” Roro, dengan logat sundanya yang kental menepuk
punggungku.
“Mumpung
lagi libur, Ro. Gue kangen ama elu.” Kita bertiga berjalan beriringan.
“Ya
sudah, ku saya saja bawa karung berasnya.”
“Atuh,
Ro…. Bawakeun. Masa ku si Akang Sarjana mawa beasna. Karunya berat.” Ibu yang
kutemui di dalam pasar tadi ikut angkat bicara.
“Udah,
gak apa-apa bu. Saya gak kalah kuatnya dari Roro, kok. Itu kan becak yang mau
nganter ibu?” Cengirku pada keduanya, lalu menunjuk sebuah becak. Ibu itu mengangguk.
Setelah
dewasa, kita masih bermain bersama. Bedanya, jika dulu Roro memanggilku dengan
sebutan “Aa” di depan namaku, kini ia memanggilku Bapak sarjana. Menurutnya
kalau sudah sekolah keluar negeri dan mendapat gelar tapi gelarnya tak disebut,
itu percuma. Ya seperti orang berangkat haji yang selalu dipanggil haji. Aku
mengiyakan saja apa katanya. Apalagi ketika ia menginginkan sesuatu dan
merayuku, ia memanggilku dengan panggilan yang lebih panjang.
“Bapak
sarjana Niko nu punya perusahaan sukses di jakarta. Anak pak mentri Umuludin,
cucu kyai turunan Kalijaga.” Katanya dengan suara keras dan badan yang tegak.
Kaki berhias sepatu Nike, ia rapatkan.
-0-
Tamat
*Tutut
= Bekicot kecil
**
Atuh, Ro…. Bawakeun. Masa ku si Akang Sarjana mawa beasna. Karunya berat = iya,
Ro… bawain. Masa sama Akang sarjana bawa berasnya. Kasihan berat.
0 komentar:
Posting Komentar