Selasa, 04 November 2014

Anak Bekicot


Pic (by) Google

Judul : Anak Bekicot
By: Laila ila

Aku tak habis pikir bagaimana Roro bisa hidup seperti ini. Bertelanjang kaki di tengah terik yang menyengat, juga tak memakai sehelai pun baju.  Badannya yang tinggal tulang itu memperburuk pandanganku, membuat aku ingin muntah saja. Ya meskipun bukan sepenuhnya salah Roro, namun memang suasana hatiku sedang buruk. Ini gara-gara papah yang mengasingkan aku ke tempat ini. Tempat tinggal si Roro anak kampung bau matahari.

                Sepatu Nike yang baru saja mama belikan satu bulan yang lalu harus dikalungkan ke leherku, dengan tali yang diikatkan. Medan perjalanan yang sekarang kita tempuh begitu banyak lumpur, dan aku tak mungkin membiarkan sepatu seharga dua ratus ribu rupiah itu jadi rusak. Roro yang berjalan di depanku santai-santai saja. Sedang aku bersusah payah melangkah, mencari pijakan yang pas supaya tidak terjerembab ke dalam lumpur.

                Ini bukan lumpur isap seperti di serial Bones, ini adalah tanah berlumpur yang biasa para petani menanam padi. Aku menginjak bagian tengah lahan, diantara padi yang mulai meninggi.

“Ini waktu yang tepat untuk mencari bekicot,” jelas papah yang tersenyum jahil  padaku. Dan mengangguk pelan ke arah Roro yang matanya berbinar tadi pagi.

“Tuuutut,” tambah Roro kemudian. Kata kelima yang aku dengar dari mulutnya, setelah kita seharian berasama.

Dan aku menjadi tumbal kejahilan papah sekarang, sedang papah berdalih dengan pekerjaannya. Aku harus mencari-cari mahluk kecil berlendir , hitam dan selalu membawa batok kemana-mana itu. Aduh, jangan tanya aku bagaimana rasanya. Baru memikirkannya aja aku sudah merasa jijik. Apalagi aku harus terpanggang di bawah sinar matahari yang terik.

Sungguh, aku berjanji untuk tidak menceritakan kejadian ini pada seisi kelas nanti saat libur sekolah berakhir. Seorang Nikolas anak berdarah biru dan tampan sepertiku harus berkotor-kotor di sawah seperti seekor katak mencari lalat? Tidak. Apalagi jika mereka tahu aku ditemani seorang anak lelaki yang gak ngota banget.

                Roro menghentikan langkahnya. Aku pun melakukan hal yang sama, lebih tepatnya belum berhasil mengangkat kaki yang seakan terisap untuk melangkah. Lalu dia menyodorkan ember merah kecil ke depanku, dan menunjuk kebawah. Tepat ke kakiku. Di sana, hewan yang sejenis siput itu berada.

Aku membungkukkan badan guna mengambil bekicot yang Roro sebut tutut. Tapi…

“Kamu yang ambil!” Aku memandang Roro dengan tatapan yang sangar. Tatapan yang sama saat mama hendak menyuruhku.

Anak berkulit hitam kelam itu menggeleng. Dengan mata yang dipelototkan dan alis saling bertaut.

“Roro, aku gak mungkin ngambil mahluk jijik kayak gitu tau. Aku udah susah payah jalan ngikutin kamu, sekarang suruh aku juga yang ngambil? Gak sudi.” Tangan kusilangkan di dada sambil memalingkan wajah ke arah yang lain.

“A.. a… a…” Tubuhku oleng. Beberapa saat aku berpegangan pada udara. Sesuatu di tarik dari leherku. Untung saja aku tak jatuh.

Sedang Roro nyengir kuda dengan tali sepatu yang ia pegang tinggi-tinggi. Ia memandangku, kemudian memandang mahluk menjijikan itu lagi. Satu alisnya meninggi. Lalu melihat sepatu yang sengaja ia lepaskan pegangannya.

“Jangan!!”

HAP!!

Tertangkap. Si anak kampung itu sedang mempermainkanku. Sepatuku  yang ia jatuhkan dan tangkap kembali, menjadi alatnya untuk memaksaku mengambil bekicot. Sial. Aku benar-benar pada posisi skak mat. Alhasil tiga ekor bekicot beralih tempat ke dalam ember merah kecil. Kulihat Roro memamerkan gigi-giginya yang putih kekuningan, dengan sepatuku menggantung di lehernya.

Cukup lama mengumpulkan para bekicot itu ke dalam ember. Karena Roro tak sedikitpun membantu. Dia masih berlagak seperti bos. Sedang aku tak dapat menolak perintahnya sampai sepatu itu kembali ke tanganku. Tak peduli pemandangan hijau yang menghampar dan panorama gunung di hadapanku yang teramat indah, pokoknya  aku sangat kesal.

Setelah dirasa cukup, kita pun akhirnya kembali ke rumah. Juga bukan tanpa perjuangan. Di tengah jalan kita bertemu seorang ibu yang sedang kesulitan dengan ranting kering bawaannya. Katanya ia baru menginjak cangkang kerang yang orang lain buang sembarangan. Jadi ia tak bisa berjalan dengan baik. Turun tanganlah Roro si anak kampung, ia dengan cekatan mengikat  ranting-ranting itu dengan kain milik si ibu dan langsung memanggulnya. Ranting itu sebagai bahan bakar untuk memasak, ibu itu menjelaskan. Aku bahkan tak percaya dengan penjelasan ibu tadi. Abad 21 masih saja memakai ranting untuk memasak? Aku rasa dia hanya mengarang cerita saja.

Meskipun begitu, Roro semangat sekali berjalan dengan beban ranting di pundaknya. Aku mengekor di belakang  dengan tangan kanan memegang gagang ember dan tangan kiri menggantung sepatu mahalku. Aku masih tak tega jika harus memakai sepatu mahal itu di tanah merah seperti ini.

Roro memutuskan untuk  mengubah arah jalan pulang kita. Setelah mengantar ibu,baru kita pulang. Karena aku tak tahu jalan pulang, ku ikuti saja dia. Ketika sampai di rumahnya –lebih tepat, gubuk- , ibu itu langsung menyuruh kita masuk. Tapi aku tak tak mau. Dan perempuan paruh baya itu membungkuskan beberapa potong tape untukku dan Roro, lalu mengucap terima kasih dengan ulasan senyum di bibirnya. Itu hadiah karena Roro sudah membantunya. Aku juga ikut tersenyum, juga merasa senang. Padahalkan yang membantu memanggul ranting-ranting itu hanya Roro. Aneh.

-o-

“Papah, kenapa sih kita harus liburan ke sini?”

“Setelah dewasa juga kamu akan mengerti!”

“Dasar orang tua!”

Papah sudah kembali ke dalam rumah, ia tak berkesempatan mendengar keluhan dan umpatanku. Aku pun tak tahu jika ia sudah tak ada di tempat, pasalnya mataku terlalu sibuk melihat adakah bagian sepatuku yang rusak.

-0-

Ketika aku dewasa, anak bekicot itu juga tumbuh menjadi lelaki dewasa. Badannya sudah berbeda sekarang. Dia lebih kekar, bahkan lebih sixpack dari aku yang biasa nge-gym. Tak heran juga, karena dia sekarang bekerja sebagai kuli panggul pasar. Pekerjaan mencari bekicotnya masih ia lakukan ketika musim bekicot tiba.

“Euleuuh ada si Bapak Sarjana.” Roro, dengan logat sundanya yang kental menepuk punggungku.

“Mumpung lagi libur, Ro. Gue kangen ama elu.” Kita bertiga berjalan beriringan.

“Ya sudah, ku saya saja bawa karung berasnya.”

Atuh, Ro…. Bawakeun. Masa ku si Akang Sarjana mawa beasna. Karunya berat.” Ibu yang kutemui di dalam pasar tadi ikut angkat bicara.

“Udah, gak apa-apa bu. Saya gak kalah kuatnya dari Roro, kok. Itu kan becak yang mau nganter ibu?” Cengirku pada keduanya, lalu menunjuk sebuah becak. Ibu itu mengangguk.

Setelah dewasa, kita masih bermain bersama. Bedanya, jika dulu Roro memanggilku dengan sebutan “Aa” di depan namaku, kini ia memanggilku Bapak sarjana. Menurutnya kalau sudah sekolah keluar negeri dan mendapat gelar tapi gelarnya tak disebut, itu percuma. Ya seperti orang berangkat haji yang selalu dipanggil haji. Aku mengiyakan saja apa katanya. Apalagi ketika ia menginginkan sesuatu dan merayuku, ia memanggilku dengan panggilan yang lebih panjang.

“Bapak sarjana Niko nu punya perusahaan sukses di jakarta. Anak pak mentri Umuludin, cucu kyai turunan Kalijaga.” Katanya dengan suara keras dan badan yang tegak. Kaki berhias sepatu Nike, ia rapatkan.

-0-

Tamat

*Tutut = Bekicot kecil
** Atuh, Ro…. Bawakeun. Masa ku si Akang Sarjana mawa beasna. Karunya berat = iya, Ro… bawain. Masa sama Akang sarjana bawa berasnya. Kasihan berat.

  

0 komentar:

Posting Komentar