Minggu, 17 Agustus 2014

Jalan-Jalannya Pake Mobil




 “Temannya sudah sampai, Laila?”

“Mmm… sebentar ya.” Aku mengecek lagi facebook dan mengirim pesan pada Mba Susie.

“Laila kenal orang-orangnya?”

“Hah? Eng… enggak semua. Cuma kenal satu.”

Mba Diah ber “oh”, dan ada sedikit keraguan di situ. Aku melihatnya jelas. Ragu juga perlahan menyusup dalam hati. Semua orang yang akan aku temui tak aku kenal. Hanya lewat foto facebook, kecuali satu, Mba Susie yang sebelumnya pernah bertemu. Orang baru berarti harus beradabtasi. Tak jadi soal untuk aku, tapi untuk Mba Diah?

Tak lama aku mendapat kabar bahwa ada yang sudah sampai dan menunggu di depan indomart. Kami keluar dari stasiun, menghampiri dua arang gadis manis berjilbab panjang. Aku tersenyum dan memperkenalkan diri pada Mba Liyan dan Mba Indah, begitu juga kukenalkan Mba Diah pada mereka.

Satu hal yang membuatku kaget. Mba Diah tidak mau duduk bersama. Terakhir aku tahu bahwa dia minder karena tidak bisa melakukan percakapan dengan yang lainnya. Minder, kata yang ingin aku singkirkan dari Mba-ku itu.

Tak sampai menunggu lama, sang koordinator pun datang. Mba Susie Salwa dengan balutan busana kerja yang elegan. Aduhai, kenapa mahluk manis nan imut ini belum mendapatakan pangeran? Ah, mungkin pangerannya sedang menyiapkan kereta kencana untuk nanti.

Waktu terus berjalan cepat, namun tanpa dirasa karena entah mengapa kita dapat langsung berbaur tanpa kaku. Mas Alie, yang konon adalah tangan kanan pak isa pun datang. Dengan insiden kecil yang membuat kami semua tersenyum. Dan yang terakhir bergabung adalah Mba Dina beserta adiknya, Nayla.

Terakhir yang kita tunggu justru adalah mobil. Katanya masih di jalan, padahal waktu sudah lebih dari jam lima sore. Meski harus menunggu lama, namun aku menikmati perjalanan ini. Duduk berantakan di depan emper toko dengan tas-tas besar, mirip dengan orang yang akan mudik. Dengan lelucon ini, kita tertawa. Tawa renyah untuk memulai tawa  bahagia lainnya.

“Bandung, I’ll be there.”

Setelah mobil datang, kita langsung menuju Jati Bening. Ke kediaman Mas Ramaditya. Lewat dari jam 8 malam, kita sampai di rumah Mas Rama. Entah, apalagi yang bisa saya ucap selain kata “Subhanallah.” Rumah yang asri dan rapih, perempuan yang cantik dan keberadaan Mas Rama yang membuat gelak tawa  kembali pecah.

“Lelaki itu.” Aku menunjuk Mas Rama, tanpa orang lain tau.

Waktu berpamitan pun tiba. Mas Rama menghadiahkan kecupan mesra pada Mba Isye, istrinya. Yang disambut dengan manis oleh perempuan berkrudung itu.

“Titip Mas Rama, ya. Ingetin kalau dia ngecas atau apa, seringkali lupa.” Itu yang disampaikan Mba Isye. Kata sederhana yang ternyata punya arti mendalam dibaliknya. Aku terkekeh ketika mengetahui dari Mas Rama apa maksud dari perkaataan itu. Perempuan sholeha, J.

oOo

Mobil pun kembali melaju membelah jalanan yang macet. Tujuan berikutnya adalah Mba Mila beserta suami dan anak yang menunggu di pinggir tol Cikarang. Oh My, aku menghela nafas barat ketika melihat jam. Membayangkan ada anak kecil di sana. Dan aku terhenyak ketika melihat mereka langsung. Dek Nayla yang sudah kecapkean, tapi tak ada kata mengeluh dari Mba Mila dan Nay. Subhanallah. Begitu juga suaminya, ia duduk tanpa banyak bicara atau setidaknya menekuk wajah karena kecewa.

Lagi, aku menunjuk seorang lelaki tanpa orang lain tau. “Lelaki itu.”

“Bandung… I’m coming.”

oOo

Tengah malam kita sampai disana. Dengan mata berat, namun langsung sumringah ketika bertemu langsung dengan perempuan berjilbab yang kurus itu. Bu Nenden. Yang rumahnya akan kami acak-acak, hehe. Juga bertemu dengan yang lainnya. Mba Linda, mba Ingeu, Mas Dimjok dan adiknya yang dari Yogya.

Kelelahan dan malam yang larut tak menutup mulut-mulut kami untuk berhenti bercengkrama. Yang menjadi topik hangat dari para perempuan adalah teka-teki bentuk tubuh dan wajah yang sudah terjawab. “Ya ampun kurus banget. Kamu tinggi. Kamu kecil banget, sih.” dan tertawa. Tak ada batasan umur dan yang paling populer disana. Kita berbaur satu tingkatan.

Esok paginya, wajah-wajah kembali sumringah. Sebelum semua orang datang dari segala penjuru, aku bertanya pada Mba Diah apakah dia sudah tau masing-masing nama teman yang disitu. Dia menggeleng.

Jadilah aku memperkenalkan kembali siapa saja yang ada di situ, meskipun sebetulnya mereka telah memperkenalkan nama masing-masing. Dengan bahasa isyarat, tentu. Tanganku beraksi, Mba Diah mengangguk. Sampai pada satu nama perempuan berkrudung coklat dan berkaca mata.

“Itu, I-N-G-E-U,” kataku sambil memperagakan.

“Inge?”

“Bukan, Mba.”

“Inggu?”

Aku kembali menggeleng.

“Ingge?”

“Ingeuuuu…” Bibirku manyun beberapa senti.

Dia menggeleng. “Ah sudahlah, pokoknya itu.”

“Ya sudahlah,” jawabku sambil tersenyum. Maafkan aku Mba Ingeu. Hehe.

oOo

Cerita masih berlanjut, ditambah orang-orang baru yang datang. Rumah menjadi lebih ramai, antrian kamar mandi makin panjang.  Aku tidur sampai jam dua, ternyata saat itu juga mobil belum datang. Ba’da Ashar, pesan yang aku terima ketika menanyakan perihal kedatangan mobil.

Lama, tentu. Tapi semuanya dinikmati, termasuk hidangan makanan yang enak dan penuh jebakan. Warning, bagi yang punya lidah jawa, jangan mengambil tumis cabe buatan Mba Ingeu. Itu sungguh mematikan. Tak percaya? Tanya saja pada Mas Dimjok.

oOo

Ashar sudah lewat. Dan ternya tiga mobil belum datang juga. Ditambah lagi dua peserta belum juga datang.

“Yang belum datang, suruh nyusul ke terminal Pangalengan.”

Gila. Siapa ini yang bilang?  Ternyata pengambilan tindakan yang sangat tegas ini mucul dari Mba panitia tak bernama. (red: Mba Ingeu) Benar-benar tak mudah, tapi ketegasannya dalam mengambil keputusan harus diacungi jempol. Karena memang ada waktu yang mengharuskan untuk melakukan hal sadis seperti itu. Saya hanya dapat berdoa semoga semuanya baik.

Arak-arak pun berjalan, meskipun di dapati kendala mengenai salah jalan dan sebagainya. Tapi syukurnya tidak ada kendala lain. Seperti muntah di mobil misalnya. Atau yang lebih mengerikan lagi, pingsan dan kesurupan di jalan.

oOo

Sampai di wisma yang dituju, ternyata peserta terus bertambah. Juga, peserta yang tadi ditinggalkan. Bang Alfin dengan istri dan bayinya. Oh God… bayi. Terima kasih telah menjaga keluarga ini.

Dan telunjukku mengangkat tanpa orang lain tahu, “Lelaki itu.”



0 komentar:

Posting Komentar