“Temannya sudah
sampai, Laila?”
“Mmm… sebentar ya.”
Aku mengecek lagi facebook dan mengirim pesan pada Mba Susie.
“Laila kenal
orang-orangnya?”
“Hah? Eng… enggak
semua. Cuma kenal satu.”
Mba Diah ber “oh”, dan
ada sedikit keraguan di situ. Aku melihatnya jelas. Ragu juga perlahan menyusup
dalam hati. Semua orang yang akan aku temui tak aku kenal. Hanya lewat foto
facebook, kecuali satu, Mba Susie yang sebelumnya pernah bertemu. Orang baru
berarti harus beradabtasi. Tak jadi soal untuk aku, tapi untuk Mba Diah?
Tak lama aku mendapat
kabar bahwa ada yang sudah sampai dan menunggu di depan indomart. Kami keluar
dari stasiun, menghampiri dua arang gadis manis berjilbab panjang. Aku
tersenyum dan memperkenalkan diri pada Mba Liyan dan Mba Indah, begitu juga
kukenalkan Mba Diah pada mereka.
Satu hal yang
membuatku kaget. Mba Diah tidak mau duduk bersama. Terakhir aku tahu bahwa dia
minder karena tidak bisa melakukan percakapan dengan yang lainnya. Minder, kata
yang ingin aku singkirkan dari Mba-ku itu.
Tak sampai menunggu
lama, sang koordinator pun datang. Mba Susie Salwa dengan balutan busana kerja
yang elegan. Aduhai, kenapa mahluk manis nan imut ini belum mendapatakan
pangeran? Ah, mungkin pangerannya sedang menyiapkan kereta kencana untuk nanti.
Waktu terus berjalan
cepat, namun tanpa dirasa karena entah mengapa kita dapat langsung berbaur
tanpa kaku. Mas Alie, yang konon adalah tangan kanan pak isa pun datang. Dengan
insiden kecil yang membuat kami semua tersenyum. Dan yang terakhir bergabung
adalah Mba Dina beserta adiknya, Nayla.
Terakhir yang kita
tunggu justru adalah mobil. Katanya masih di jalan, padahal waktu sudah lebih
dari jam lima sore. Meski harus menunggu lama, namun aku menikmati perjalanan
ini. Duduk berantakan di depan emper toko dengan tas-tas besar, mirip dengan
orang yang akan mudik. Dengan lelucon ini, kita tertawa. Tawa renyah untuk
memulai tawa bahagia lainnya.
“Bandung, I’ll be
there.”
Setelah mobil datang,
kita langsung menuju Jati Bening. Ke kediaman Mas Ramaditya. Lewat dari jam 8
malam, kita sampai di rumah Mas Rama. Entah, apalagi yang bisa saya ucap selain
kata “Subhanallah.” Rumah yang asri dan rapih, perempuan yang cantik dan
keberadaan Mas Rama yang membuat gelak tawa kembali pecah.
“Lelaki itu.” Aku
menunjuk Mas Rama, tanpa orang lain tau.
Waktu berpamitan pun
tiba. Mas Rama menghadiahkan kecupan mesra pada Mba Isye, istrinya. Yang
disambut dengan manis oleh perempuan berkrudung itu.
“Titip Mas Rama, ya.
Ingetin kalau dia ngecas atau apa, seringkali lupa.” Itu yang disampaikan Mba
Isye. Kata sederhana yang ternyata punya arti mendalam dibaliknya. Aku terkekeh
ketika mengetahui dari Mas Rama apa maksud dari perkaataan itu. Perempuan
sholeha, J.
oOo
Mobil pun kembali
melaju membelah jalanan yang macet. Tujuan berikutnya adalah Mba Mila beserta
suami dan anak yang menunggu di pinggir tol Cikarang. Oh My, aku menghela nafas
barat ketika melihat jam. Membayangkan ada anak kecil di sana. Dan aku
terhenyak ketika melihat mereka langsung. Dek Nayla yang sudah kecapkean, tapi
tak ada kata mengeluh dari Mba Mila dan Nay. Subhanallah. Begitu juga suaminya,
ia duduk tanpa banyak bicara atau setidaknya menekuk wajah karena kecewa.
Lagi, aku menunjuk
seorang lelaki tanpa orang lain tau. “Lelaki itu.”
“Bandung… I’m coming.”
oOo
Tengah malam kita
sampai disana. Dengan mata berat, namun langsung sumringah ketika bertemu
langsung dengan perempuan berjilbab yang kurus itu. Bu Nenden. Yang rumahnya
akan kami acak-acak, hehe. Juga bertemu dengan yang lainnya. Mba Linda, mba
Ingeu, Mas Dimjok dan adiknya yang dari Yogya.
Kelelahan dan malam
yang larut tak menutup mulut-mulut kami untuk berhenti bercengkrama. Yang
menjadi topik hangat dari para perempuan adalah teka-teki bentuk tubuh dan
wajah yang sudah terjawab. “Ya ampun kurus banget. Kamu tinggi. Kamu kecil
banget, sih.” dan tertawa. Tak ada batasan umur dan yang paling populer disana.
Kita berbaur satu tingkatan.
Esok paginya,
wajah-wajah kembali sumringah. Sebelum semua orang datang dari segala penjuru,
aku bertanya pada Mba Diah apakah dia sudah tau masing-masing nama teman yang
disitu. Dia menggeleng.
Jadilah aku
memperkenalkan kembali siapa saja yang ada di situ, meskipun sebetulnya mereka
telah memperkenalkan nama masing-masing. Dengan bahasa isyarat, tentu. Tanganku
beraksi, Mba Diah mengangguk. Sampai pada satu nama perempuan berkrudung coklat
dan berkaca mata.
“Itu, I-N-G-E-U,”
kataku sambil memperagakan.
“Inge?”
“Bukan, Mba.”
“Inggu?”
Aku kembali
menggeleng.
“Ingge?”
“Ingeuuuu…” Bibirku
manyun beberapa senti.
Dia menggeleng. “Ah
sudahlah, pokoknya itu.”
“Ya sudahlah,” jawabku
sambil tersenyum. Maafkan aku Mba Ingeu. Hehe.
oOo
Cerita masih
berlanjut, ditambah orang-orang baru yang datang. Rumah menjadi lebih ramai,
antrian kamar mandi makin panjang. Aku
tidur sampai jam dua, ternyata saat itu juga mobil belum datang. Ba’da Ashar,
pesan yang aku terima ketika menanyakan perihal kedatangan mobil.
Lama, tentu. Tapi
semuanya dinikmati, termasuk hidangan makanan yang enak dan penuh jebakan.
Warning, bagi yang punya lidah jawa, jangan mengambil tumis cabe buatan Mba
Ingeu. Itu sungguh mematikan. Tak percaya? Tanya saja pada Mas Dimjok.
oOo
Ashar sudah lewat. Dan
ternya tiga mobil belum datang juga. Ditambah lagi dua peserta belum juga
datang.
“Yang belum datang,
suruh nyusul ke terminal Pangalengan.”
Gila. Siapa ini yang
bilang? Ternyata pengambilan tindakan
yang sangat tegas ini mucul dari Mba panitia tak bernama. (red: Mba Ingeu)
Benar-benar tak mudah, tapi ketegasannya dalam mengambil keputusan harus
diacungi jempol. Karena memang ada waktu yang mengharuskan untuk melakukan hal
sadis seperti itu. Saya hanya dapat berdoa semoga semuanya baik.
Arak-arak pun
berjalan, meskipun di dapati kendala mengenai salah jalan dan sebagainya. Tapi
syukurnya tidak ada kendala lain. Seperti muntah di mobil misalnya. Atau yang
lebih mengerikan lagi, pingsan dan kesurupan di jalan.
oOo
Sampai di wisma yang
dituju, ternyata peserta terus bertambah. Juga, peserta yang tadi ditinggalkan.
Bang Alfin dengan istri dan bayinya. Oh God… bayi. Terima kasih telah menjaga
keluarga ini.
Dan telunjukku
mengangkat tanpa orang lain tahu, “Lelaki itu.”
0 komentar:
Posting Komentar