By: Laila ila
Judul : Apakah Cinta Sejati Itu Ada?
Bagaimana mau jadi penulis, satu kalimat awal saja aku tak dapat
merampungkannya. Kalimatku menggantung, juga jemari dan pikiranku.
Semuanya blank, seakan ditelan angin yang menyusup masuk ketelingaku.
Hanya tiga kata yang dapat aku tulis, cinta-sejati-adalah. Itu saja, tak
lebih.
Ah ya, mungkin otakku terlalu kepanasan. Kulirik kipas
angin yang terduduk di pojok meja. Sekali tekan, angin itu langsung
menghambur ke kepala. Satu-dua bahkan sepuluh menit, ketiga kata itu
tidak punya teman sama sekali. Hanya tiga titik yang aku tambahkan,
selebihnya kosong.
Sempurna. Tak ada kata yang dapat aku temui. Apa mungkin kata awalnya diganti saja?
Kucoret tiga kata yang tadi kesepian, lalu menulis kata lain.
Cinta-sejati-itu. Tiga kata pula, dan tak ada kata lain menyertainya.
Aku kehabisan ide, termasuk juga kata-kata. Namun aku tak mau mengalah.
Kubolak-balikan memori, mungkin saja ada kisah cinta sejati yang pernah
aku temui. Atau setidaknya cinta sejati dapat kudefinisikan.
Tapi rasanya aku tak mempunyai cinta sejati. Pengalamanku soal
percintaan hanya setahi kuku dari pada teman-teman yang sering
berpacaran. Saat teringat orang tua pun tak dapat kuambil dari mereka
kisah yang menunjukan cinta sejati. Malah bayangan-bayangan kelam
mengepul dan membuat sebuah siluet menakutkan untuk diingat kembali.
Mata sangar, teriakan, kursi dan meja yang dibanting. Arggghhh, stop.
Aku tak mau membayangkannya lagi.
Apa mungkin cinta sejati itu tak ada?
Kubenamkan saja kepala di bawah bantal. Meringkuk di kasur mungkin akan
memberikan sebuah ketenangan, sehingga ide-ide dan kata-kata itu
datang. Semoga saja.
“Neng…,” Emak yang entah di mana membuyarkan ketenanganku. Mata yang lamat-lamat akan menutup terbelalak juga.
“Iya, Mak ada apa sih teriak-teriak?” mau tak mau aku bangun, mencari sosok perempuan tua gendut itu.
“Dapur...,” Teriaknya lagi.
Langsung aku menuju dapur, melongok Emak yang sibuk memasak. Semerbak
wangi terasi tercium dari tumis kangkung yang masih mengepulkan asap.
“Apa sih, Mak?” Tanyaku heran. Sepertinya dia bukan ingin menyuruhku
membantu memasak, sebab hampir semua masakan sudah dihidangkan. Hanya
tinggal beberapa potong tempe saja yang masih di penggorengan.
Mata tuanya menatapku, dan berbisik sepelan mungkin. “Ini, bawain ke kakekmu, suguhin sana. Dia harus minum obat.”
Barulah aku tahu maksudnya, tapi kenapa harus bisik-bisik? Aku kembali keheranan.
“Emang kenapa gak sama Emak aja?” aku ikut berbisik, mungkin ada
teroris yang mendengarkan. Dan akan menjadikan terasi sebagai bahan
peledak? Ah, sungguh itu tidak mungkin.
“Kalau sama Emak dia
pasti marah-marah kayak kemaren. Matanya sampai keluar gitu, padahal
emak Cuma nyuruh makan doang.” Jelasnya sembari menyiapkan piring dan
nasi.
Aku terkekeh dalam hati mendengar penjelasan itu. Tak
mungkin aku lupa kejadian kemarin malam. Waktu itu Emak menyiapkan nasi
dan lauk-pauknya di ruang keluarga (sekaligus ruang makan lesehan).
“Makan dulu,” Kata Emak sambil lalu dari kamar Kakek, kerjaan di dapur belum ia bereskan sepertinya.
Kakek pun bangkit dari tempat tidur, dan duduk di depan makanan yang
sudah disediakan. Setelah itu dia hanya duduk lesu memandangi makanan
yang ada dihadapannya. Sesekali meradang atau batuk-batuk.
Selesai di dapur Emak pun masuk ke ruang keluarga lagi. Dia melihat
piring yang tidak terjamah. Kakek bergeming dengan kelesuan (yang
sepertinya di palsukan). Seketika itu pun Emak marah, mungkin karena
kecapekan siangnya jadi dia tidak terlalu bisa mengontrol emosi.
“Belum dimakan juga? Sia-sia aku masak segitu banyak.”
Kakek menengadah, tak mau kalah bersungut. “Makanan apa? Gak disediain gitu?”
Aku tahu peperangan akan terjadi ketika mata emak yang kecil sebesar kelereng itu membelalak sampai dua kali lipatnya.
“Itu, gak keliatan apa? Di depan mata.”
“Mana? Piringnya masih kosong gitu!”
“Astagfirullah… tinggal dikeduk aja gak mau?”
“Ya gimana bisa makan nasi kalau nasinya gak dikedukin?”
Dan mau tidak mau Emak turun untuk mengeduk nasi dan lauknya ke piring. Mendekatkan mug yang letaknya agak jauh dari kakek.
“Dasar Aki-aki, udah dimasakin ini itu masih aja minta disuapin. Manja banget jadi orang,” omel emak, masih di depan kakek.
“Eh… dasar perempuan gak tau diri. Kerjaan perempuan emang buat
ngelayanin. Segitu aja udah ngedumel.” Mata Kakek melotot memandang
Emak. Tapi tangannya mulai menyinduk sesuap nasi untuk masuk ke mulut.
“Tuh kan, dimakan juga. Apa susahnya sih nyendokin sendiri, makan
sendiri? Masih bisakan?” lagi-lagi. Tapi ia langsung keluar rumah.
Entahlah mau kemana. Meninggalkan kakek dan aku yang asyik dengan
handphone, tak mau ikut campur pertengkaran keduanya.
Dan
sekarang, setelah kejadian malam itu Emak masih saja melayani Kakek.
Meskipun caranya yang sedikit lucu. Menyuruh aku membawa makanan yang
ia masak sendiri. Maksudnya ingin membuat kesan bahwa Emak sudah tak
lagi peduli dengan Kakek. Tapi sebenarnya kakekpun tau aku tak mungkin
memasak untuknya. Pastilah Emak yang memasak dan aku hanyalah pengantar
makanan saja.
“Udah sana, bawain makanannya. Terus sediain obat
dipinggir mug-nya biar dia gak punya alasan buat gak makan obat lagi.”
Emak mengusirku dengan mengibas-kibaskan tangannya.
Tanpa
menunggu lama aku langsung memberikan semua makanan yang tadi disiapkan
Emak. Mulai dari nasi, lauk-pauk beserta air minum dan obat. Dipanggilah
kakek yang sedang tidur-tiduran di atas kasur.
“Makan ini, terus
minum obat. Nih, obatnya di sini. Jangan sampai lupa lagi,” ucapku
tegas. Dia menurut. Melahap makanannya tanpa perdebatan lebih dahulu.
Kembalilah aku ke kamar, melanjutkan kegalauan tulisan yang
menggantung. Di atas kasur tak bisa pikiran ini melupakan apa yang tadi.
Tentang Emak dan Kakekku. Kebersamaan mereka lebih dari 40 tahun,
mengingat usia anak pertamanya saja sudah 40 tahun lebih. Bukan hal
mudah bagi Emak untuk berada mendampingi Kakek yang keras kepala dan
susah diatur itu.
Bahkan adegan teriak-teriakan, saling menuduh
dan mengumpat menjadi cuplikan sehari-hari di rumah ini. Sampai aku kira
mereka akan berpisah, meskipun usia sudah senja tapi tak menutup
kemungkinan pernikahan itu kandas ditengah jalan. Dan ternyata tidak.
Mereka masih bersama sampai sekarang.
Kembali kepada tulisan yang
tak terselesaikan. Aku bangkit menuju meja belajar, duduk dihadapan
kertas yang punya enam kata itu. Setelah tiga kata dicoret, tiga kata
lainnya aku coret. Kalimat pembukannya aku ganti menjadi, “Adakah cinta
sejati itu? Kau jawab, ada.”
Mulailah kalimat selanjutnya menukik
bersama tinta yang ku toreh. Ku putuskan untuk menulis cinta sejati
yang Emak berikan pada Kakek. Aku mulai menyunggingkan senyum saat tinta
itu menorehkan kata Tamat
0 komentar:
Posting Komentar