Senin, 12 Mei 2014

Apakah Cinta Sejati Itu Ada?

Event Cinta Sejati Keping Hati.
By: Laila ila
Judul : Apakah Cinta Sejati Itu Ada?


Bagaimana mau jadi penulis, satu kalimat awal saja aku tak dapat merampungkannya. Kalimatku menggantung, juga jemari dan pikiranku. Semuanya blank, seakan ditelan angin yang menyusup masuk ketelingaku. Hanya tiga kata yang dapat aku tulis, cinta-sejati-adalah. Itu saja, tak lebih.

Ah ya, mungkin otakku terlalu kepanasan. Kulirik kipas angin yang terduduk di pojok meja. Sekali tekan, angin itu langsung menghambur ke kepala. Satu-dua bahkan sepuluh menit, ketiga kata itu tidak punya teman sama sekali. Hanya tiga titik yang aku tambahkan, selebihnya kosong.

Sempurna. Tak ada kata yang dapat aku temui. Apa mungkin kata awalnya diganti saja?
Kucoret tiga kata yang tadi kesepian, lalu menulis kata lain. Cinta-sejati-itu. Tiga kata pula, dan tak ada kata lain menyertainya. Aku kehabisan ide, termasuk juga kata-kata. Namun aku tak mau mengalah. Kubolak-balikan memori, mungkin saja ada kisah cinta sejati yang pernah aku temui. Atau setidaknya cinta sejati dapat kudefinisikan.

Tapi rasanya aku tak mempunyai cinta sejati. Pengalamanku soal percintaan hanya setahi kuku dari pada teman-teman yang sering berpacaran. Saat teringat orang tua pun tak dapat kuambil dari mereka kisah yang menunjukan cinta sejati. Malah bayangan-bayangan kelam mengepul dan membuat sebuah siluet menakutkan untuk diingat kembali. Mata sangar, teriakan, kursi dan meja yang dibanting. Arggghhh, stop. Aku tak mau membayangkannya lagi.

Apa mungkin cinta sejati itu tak ada?

Kubenamkan saja kepala di bawah bantal. Meringkuk di kasur mungkin akan memberikan sebuah ketenangan, sehingga ide-ide dan kata-kata itu datang. Semoga saja.

“Neng…,” Emak yang entah di mana membuyarkan ketenanganku. Mata yang lamat-lamat akan menutup terbelalak juga.

“Iya, Mak ada apa sih teriak-teriak?” mau tak mau aku bangun, mencari sosok perempuan tua gendut itu.

“Dapur...,” Teriaknya lagi.
Langsung aku menuju dapur, melongok Emak yang sibuk memasak. Semerbak wangi terasi tercium dari tumis kangkung yang masih mengepulkan asap.

“Apa sih, Mak?” Tanyaku heran. Sepertinya dia bukan ingin menyuruhku membantu memasak, sebab hampir semua masakan sudah dihidangkan. Hanya tinggal beberapa potong tempe saja yang masih di penggorengan.
Mata tuanya menatapku, dan berbisik sepelan mungkin. “Ini, bawain ke kakekmu, suguhin sana. Dia harus minum obat.”

Barulah aku tahu maksudnya, tapi kenapa harus bisik-bisik? Aku kembali keheranan.

“Emang kenapa gak sama Emak aja?” aku ikut berbisik, mungkin ada teroris yang mendengarkan. Dan akan menjadikan terasi sebagai bahan peledak? Ah, sungguh itu tidak mungkin.

“Kalau sama Emak dia pasti marah-marah kayak kemaren. Matanya sampai keluar gitu, padahal emak Cuma nyuruh makan doang.” Jelasnya sembari menyiapkan piring dan nasi.

Aku terkekeh dalam hati mendengar penjelasan itu. Tak mungkin aku lupa kejadian kemarin malam. Waktu itu Emak menyiapkan nasi dan lauk-pauknya di ruang keluarga (sekaligus ruang makan lesehan).

“Makan dulu,” Kata Emak sambil lalu dari kamar Kakek, kerjaan di dapur belum ia bereskan sepertinya.

Kakek pun bangkit dari tempat tidur, dan duduk di depan makanan yang sudah disediakan. Setelah itu dia hanya duduk lesu memandangi makanan yang ada dihadapannya. Sesekali meradang atau batuk-batuk.

Selesai di dapur Emak pun masuk ke ruang keluarga lagi. Dia melihat piring yang tidak terjamah. Kakek bergeming dengan kelesuan (yang sepertinya di palsukan). Seketika itu pun Emak marah, mungkin karena kecapekan siangnya jadi dia tidak terlalu bisa mengontrol emosi.

“Belum dimakan juga? Sia-sia aku masak segitu banyak.”
Kakek menengadah, tak mau kalah bersungut. “Makanan apa? Gak disediain gitu?”

Aku tahu peperangan akan terjadi ketika mata emak yang kecil sebesar kelereng itu membelalak sampai dua kali lipatnya.

“Itu, gak keliatan apa? Di depan mata.”

“Mana? Piringnya masih kosong gitu!”

“Astagfirullah… tinggal dikeduk aja gak mau?”

“Ya gimana bisa makan nasi kalau nasinya gak dikedukin?”

Dan mau tidak mau Emak turun untuk mengeduk nasi dan lauknya ke piring. Mendekatkan mug yang letaknya agak jauh dari kakek.

“Dasar Aki-aki, udah dimasakin ini itu masih aja minta disuapin. Manja banget jadi orang,” omel emak, masih di depan kakek.

“Eh… dasar perempuan gak tau diri. Kerjaan perempuan emang buat ngelayanin. Segitu aja udah ngedumel.” Mata Kakek melotot memandang Emak. Tapi tangannya mulai menyinduk sesuap nasi untuk masuk ke mulut.

“Tuh kan, dimakan juga. Apa susahnya sih nyendokin sendiri, makan sendiri? Masih bisakan?” lagi-lagi. Tapi ia langsung keluar rumah. Entahlah mau kemana. Meninggalkan kakek dan aku yang asyik dengan handphone, tak mau ikut campur pertengkaran keduanya.

Dan sekarang, setelah kejadian malam itu Emak masih saja melayani Kakek. Meskipun caranya yang sedikit lucu. Menyuruh aku membawa makanan yang ia masak sendiri. Maksudnya ingin membuat kesan bahwa Emak sudah tak lagi peduli dengan Kakek. Tapi sebenarnya kakekpun tau aku tak mungkin memasak untuknya. Pastilah Emak yang memasak dan aku hanyalah pengantar makanan saja.

“Udah sana, bawain makanannya. Terus sediain obat dipinggir mug-nya biar dia gak punya alasan buat gak makan obat lagi.” Emak mengusirku dengan mengibas-kibaskan tangannya.

Tanpa menunggu lama aku langsung memberikan semua makanan yang tadi disiapkan Emak. Mulai dari nasi, lauk-pauk beserta air minum dan obat. Dipanggilah kakek yang sedang tidur-tiduran di atas kasur.

“Makan ini, terus minum obat. Nih, obatnya di sini. Jangan sampai lupa lagi,” ucapku tegas. Dia menurut. Melahap makanannya tanpa perdebatan lebih dahulu.

Kembalilah aku ke kamar, melanjutkan kegalauan tulisan yang menggantung. Di atas kasur tak bisa pikiran ini melupakan apa yang tadi. Tentang Emak dan Kakekku. Kebersamaan mereka lebih dari 40 tahun, mengingat usia anak pertamanya saja sudah 40 tahun lebih. Bukan hal mudah bagi Emak untuk berada mendampingi Kakek yang keras kepala dan susah diatur itu.

Bahkan adegan teriak-teriakan, saling menuduh dan mengumpat menjadi cuplikan sehari-hari di rumah ini. Sampai aku kira mereka akan berpisah, meskipun usia sudah senja tapi tak menutup kemungkinan pernikahan itu kandas ditengah jalan. Dan ternyata tidak. Mereka masih bersama sampai sekarang.

Kembali kepada tulisan yang tak terselesaikan. Aku bangkit menuju meja belajar, duduk dihadapan kertas yang punya enam kata itu. Setelah tiga kata dicoret, tiga kata lainnya aku coret. Kalimat pembukannya aku ganti menjadi, “Adakah cinta sejati itu? Kau jawab, ada.”
Mulailah kalimat selanjutnya menukik bersama tinta yang ku toreh. Ku putuskan untuk menulis cinta sejati yang Emak berikan pada Kakek. Aku mulai menyunggingkan senyum saat tinta itu menorehkan kata Tamat

0 komentar:

Posting Komentar