“Emmm kurang…” Batinku seraya mengecap kuah opor di telapak
tangan.
Kali ini aku menghabiskan sore bersama bumbu kuning dan
beberapa potong ayam. Mencampur, mengaduk lalu mendiamkannya lama. Opor sudah
menjadi menu andalanku. Kata Mas Rizal opor buatanku enak sekali, beda dari
opor-opor yang lain yang pernah ia makan.
“Wah… kalau aku dimasakin opor terus, semakin tambunlah
perut ini.” Candanya saat dia menyodorkan piring, meminta tambahan nasi dan
opor diakhir pekan minggu lalu. Aku sendiri merasa senang jika dia menyukainya, tak terbuang sia-sia
waktuku saat harus menunggu daging yang direbus lebih dari setengah jam itu agar
empuk.
Tapi kali ini rasanya beda. Setelah beberapa kali aku cicipi
ada aja rasa yang kurang. Garam dan gula putih sudah aku tambahkan untuk
menambahkan rasa gurih, tapi tetap saja rasanya tak seimbang. Padahal bahan yang
dipakai sama, takarannya juga seperti biasa. Kunyit hanya setengah ibu jari, santan juga
tak terlalu encer. Aneh.
Aku cicipi lagi, masih sama.
Jika terus dimasak nanti tekstur ayamnya akan lembek, tak
enak dimakan. Jadi aku matikan api kompor. Kuaduk kuah kuning itu untuk
terakhir kali. Lalu sepotong paha beserta kuahnya kutuangkan pada mangkung.
Mencoba menerka-nerka apa yang salah dengan masakan ini, kubawa
semangkuk opor itu ke ruang makan. Masih panas. Kudiamkan beberapa menit supaya
hangat, mungkin tadi karena terlalu panas jadi aku tak bisa menikmati rasa enak
seperti biasanya.
“Masih kurang.” Kali ini
aku menyerah, rasanya memang beda dari biasanya. Aku juga tak tahu harus menambahkan apa.
Sakit hati dengan opor yang tak mau bersahabat, kuedarkan
mata untuk mencari hape. Di atas kulkas, langsung saja aku membuka locknya. Mengecek facebook dan twitter, tak ada yang menarik. Kubuka pesan. Diurutan
pertama ada pesan dari suami, meskipun aku sudah membacanya saat menunggu
rebusan ayam empuk, tapi tangan ini tertarik untuk membuka kembali.
Lamat-lamat kubaca isi pesan itu. “Maaf de, malam mini aku
gak datang kerumahmu ya. Fajri sakit, mamanya minta aku nemenin Fajri.” Itu katanya.
“Iya mas, gak apa-apa. Moga cepet sembuh aja buat Fajri ya.”
Jawabku dengan berat hati.
Kulirik semangkuk opor di atas meja yang sepertinya sudah
mendingin. Masih ada yang kurang. Kurang seseorang yang biasa menyanjungku
karena masakan itu. Kurang seseorang
yang bersendawa setelah kekenyangan.
Aku menghela nafas panjang. Kata orang, perlu kesabaran yang
sangat untuk menjadi istri pertama. Karena cinta yang ia pupuk sejak lama telah
terbagi dengan wanita lain. Nyatanya sebagai istri keduapun harus sama sabarnya.
Seperti aku yang harus sabar dengan rasa kurang dari semangkuk oporku.
oOo
Tulisan ini diikutsertakan dalam Giveaway Keping Hati
www.lovrinz.com/
www.lovrinz.com/
0 komentar:
Posting Komentar